Sabtu, 22 Januari 2011, tengah malem saya mengeluarkan tas yang berisi pakaian-pakian saya dan perlengkapan saya sehari-hari. Tidak lama setelah saya beres touch-up, terdengar suara klakson mobil dari depan rumah, ternyata travel yang saya gunakan untuk ke Cengkareng sudah datang. Saya, mama, dan abang saya langsung mulai memasukan semua barang bawaan kami. Setelah usai berpisah dengan saudara jauh yang kami titipi untuk menjaga rumah dan lele peliharaan mama, kami pun berangkan ke Cengkareng.
Saya tidak bisa tidur selama perjalanan karena sudah seharian perut saya sakit. Saya pun ditemani seseorang lewat telepon. Seorang teman dekat. Sampai di rest area, kami berhenti untuk istirahat karena kami terlalu cepat di jalan, tidak seperti yang kami perkirakan. Pukul empat kurang kami sampai di Bandara Soekarno-Hatta dan bertemu sahabat abang saya yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh mama, Uda Raymon. Tidak jauh dari tempat saya duduk sambil menunggu Uda Raymon menghabiskan kopinya, ada seorang laki-laki, lumayan lucu –hampir tipe laki-laki yang saya suka lah – melihat kearah saya. Saya mulai sedikit gimana gitu. Tidak lama, saya pun diajak check-in karena sudah jam empat lebih. Sambil mengobrol dengan Uda Raymond mengenai check-in di Foursquare (salah satu social networking yang berbasis lokasi) yang tidak yakin akan saya publish-kan, saya melewati laki-laki itu. Bukan sengaja, tapi memang saya harus jalan melewati dia. Saya tau karena sedikit melirik, laki-laki meliahat saya hingga saya jauh melewati dia. Saya tertawa dalam hati dan berfikir 'coba bisa kenalan'.
Saat saya check-in hingga sampai saat saya sampai di ruang tunggu, suasananya masih sepi. Abang dan Uda Raymon pun sampai tertidur di kursi ruang tunggu hingga akhirnya jam setengah enam kami mulai bias masuk pesawat. Jam enam pas pesawat kami take-off. Kami pun meninggalkan pulau Jawa. Jam 8.08, pesawat kami landing di bandara Polonia (MES), Medan, Sumatra Utara. Sekitar pukul sepuluh kami dijemput sepupu kami, anak abangnya mama saya, Bang Greg, dan sampai di rumah om saya sekitar pukul sebelas. Selesai menurunkan barang dan memasukkan barang ke kamar tempat kami menginap, kami mengobrol sebentar dengan om dan sepupu saya. Pertama, abang duluan yang tidur, di susul uda Raymon, lalu saya yang awalnya sedang online pun tertidur di sofa. Tak heran, kami semua belum ada yang benar-benar beristirahat hingga akhirnya kami berempat sampai di Medan.
Pukul enam sore saya di bangunkan untuk siap-siap pergi. Kami semua siap masing. Setelah siap saya, mama, abang, Uda Raymond dan Bang Greg, pergi ke tempat pertama, Rumah Namboru (Namboru adalah sebutan orang batak bagi tante, kakak/adik perempuan dari ayah).
Disana kecuali saya, Uda Raymond dan Bang Greg, semua berbicara bahasa batak. Abang masih sedikit-sedikit memang dalam berbicara bahasa batak (kalau kata orang batak marpasir pasir marhata batak). Saya yang dilahirkan di Bandung, dibesarkan dan dididik di Bandung dengan tradisi yang mayoritasnya tradisi sana, hanya bias mengerti sedikit apa yang mereka obrolkan dengan bahasa batak, itu pun kadang saya bertanya beberapa kata yang saya tidak tahu apa artinya.
Di Medan, bagi mereka yang tidak terbiasa di Medan, waktu itu terasa menipu. Begitu yang saya rasakan, ternyata kami bertamu sudah pukul sembilan, padahal saya kira itu masih pukul tujuh. Bagaimana tidak, pukul enam sore saat saya dibangunkan, langit masih terang seperti pukul empat sore di Bandung. Kami pun pamit pukul sepuluh setelah sedikit mengobrol.
Saat di mobil, semua dari kami merasa lapar. Tentu saja saat melihat jam sudah sekitar jam setengah sebelas malam, dan terakhir makan siang pukul satu siang, sudah pasti perut kami semua kosong sekarang. Kami penasaran dengan Mie Aceh Titi Bobrok dan Sumsum Langsa. Beberapa orang teman dari masing-masing kami yang muda menyarankan mencoba makanan di tempat tersebut utnuk wisata kuliner Medan. Sungguh sayang, sampai di Titi Bobrok, Sumsum Langsanya sudah tutup, saat ke Mie Aceh yang disarankan teman kami disebelahnya, mereka pun sudah mau tutup karena sudah habis. Akhirnya kami makan mie Aceh yang ada di ujung Titi Bobrok karena kami sudah lapar. Saya dan abang memesan mie Aceh kepiting, mama, uda Raymond dan bang Greg memimilih memesan mie Aceh daging.
Kami sempat mengobrol sambil menunggu pesanan kami datang. Kami memilik makan di bagian luar rumah makan itu. Mereka menata kursi dan meja di jalan, di depan rumah makan mereka. Pertama pesanan minuman kami datang. Saya memesan jus terong belanda, sama seperti mama dan abang, sedangkan yang lain memesan teh hangat. Kami berfoto—foto untuk menjadi bukti wisata kuliner kami. Tak lama pesanan mie aceh kami datang. Rasanya lumayan untuk mie acehnya, lumayan kenyal, bumbunya lumayan terasa walau sedikit nanggung. Yang saya suka kepitingnya. Kepiting yang mereka sajikan di pesanan saya lumayan enak. Bumbunya lumayan terasa did aging kepiting yang bagian tengahnya, dan did aging kepiting yang ada di kaki-kakinya terasa lembut dan manis. Saya punmencicipi mie Aceh dagingnya, rasanya sama saja dengan pesanan saya, hanya yang punya saya pake kepiting jadi ada sedikit aroma kepitingnya.
Saat kami makan, mama saya berkata ganjanya kurang terasa. Saya sontak kaget, "GANJA?!". Sepupu saya, Bang Greg menyahut, "iya nam, ga pake kayanya, atau sedikit mungkin dia pakai". Saya bingung. "Emang harusnya pake ganja yah?? Ngeri amet", tanya saya bingung. Mama saya menjelaskan kalau ternyata mie Aceh yang sebenarnya itu menggunakan ganja karena sebenarnya di Aceh sendiri banyak beredar
ganja (setau mama dulu). Believe it or not, tapi saya sih ga percaya, buktinya saya ga ketagihan atau merasakan perasaan nge-fly atau apapun setelah makan mie Aceh itu kecuali KENYANG KENYANG KENYANG.
Setelah beres makan dan mereka yang merokok sudah beres merokok, abang saya membayar semua pesanan kami. Semuanya Rp 98.000,-. Entah berapa harga masing-masing tiap menu yang kami pesan karena yang punya rumah makan tidak memberkan bon dan tidak ada daftar harga di menu – bahkan kami tidak memesan lewat
menu tapi lewat tulisan yang ada di depan rumah makan itu dan bertanya dengan yang punya rumah makan yang melayani kami. Kami jadi berfikir, bagaimana rasa mie Aceh yang disarankan oleh teman-teman kami. Apakan begitu enaknya?
Kami pun pulang. Mie aceh yang kami datangin menutup perjalanan saya hari ini. Sesampainya dirumah kami semua tidur. Saya pun tertidur seperti biasa saat bertelepon dengan seseorang [jangan tanya siapa.. hhee].
Di Medan, bagi mereka yang tidak terbiasa di Medan, waktu itu terasa menipu. Begitu yang saya rasakan, ternyata kami bertamu sudah pukul sembilan, padahal saya kira itu masih pukul tujuh. Bagaimana tidak, pukul enam sore saat saya dibangunkan, langit masih terang seperti pukul empat sore di Bandung. Kami pun pamit pukul sepuluh setelah sedikit mengobrol.
Saat di mobil, semua dari kami merasa lapar. Tentu saja saat melihat jam sudah sekitar jam setengah sebelas malam, dan terakhir makan siang pukul satu siang, sudah pasti perut kami semua kosong sekarang. Kami penasaran dengan Mie Aceh Titi Bobrok dan Sumsum Langsa. Beberapa orang teman dari masing-masing kami yang muda menyarankan mencoba makanan di tempat tersebut utnuk wisata kuliner Medan. Sungguh sayang, sampai di Titi Bobrok, Sumsum Langsanya sudah tutup, saat ke Mie Aceh yang disarankan teman kami disebelahnya, mereka pun sudah mau tutup karena sudah habis. Akhirnya kami makan mie Aceh yang ada di ujung Titi Bobrok karena kami sudah lapar. Saya dan abang memesan mie Aceh kepiting, mama, uda Raymond dan bang Greg memimilih memesan mie Aceh daging.
Kami sempat mengobrol sambil menunggu pesanan kami datang. Kami memilik makan di bagian luar rumah makan itu. Mereka menata kursi dan meja di jalan, di depan rumah makan mereka. Pertama pesanan minuman kami datang. Saya memesan jus terong belanda, sama seperti mama dan abang, sedangkan yang lain memesan teh hangat. Kami berfoto—foto untuk menjadi bukti wisata kuliner kami. Tak lama pesanan mie aceh kami datang. Rasanya lumayan untuk mie acehnya, lumayan kenyal, bumbunya lumayan terasa walau sedikit nanggung. Yang saya suka kepitingnya. Kepiting yang mereka sajikan di pesanan saya lumayan enak. Bumbunya lumayan terasa did aging kepiting yang bagian tengahnya, dan did aging kepiting yang ada di kaki-kakinya terasa lembut dan manis. Saya punmencicipi mie Aceh dagingnya, rasanya sama saja dengan pesanan saya, hanya yang punya saya pake kepiting jadi ada sedikit aroma kepitingnya.
Saat kami makan, mama saya berkata ganjanya kurang terasa. Saya sontak kaget, "GANJA?!". Sepupu saya, Bang Greg menyahut, "iya nam, ga pake kayanya, atau sedikit mungkin dia pakai". Saya bingung. "Emang harusnya pake ganja yah?? Ngeri amet", tanya saya bingung. Mama saya menjelaskan kalau ternyata mie Aceh yang sebenarnya itu menggunakan ganja karena sebenarnya di Aceh sendiri banyak beredar
ganja (setau mama dulu). Believe it or not, tapi saya sih ga percaya, buktinya saya ga ketagihan atau merasakan perasaan nge-fly atau apapun setelah makan mie Aceh itu kecuali KENYANG KENYANG KENYANG.
Setelah beres makan dan mereka yang merokok sudah beres merokok, abang saya membayar semua pesanan kami. Semuanya Rp 98.000,-. Entah berapa harga masing-masing tiap menu yang kami pesan karena yang punya rumah makan tidak memberkan bon dan tidak ada daftar harga di menu – bahkan kami tidak memesan lewat
menu tapi lewat tulisan yang ada di depan rumah makan itu dan bertanya dengan yang punya rumah makan yang melayani kami. Kami jadi berfikir, bagaimana rasa mie Aceh yang disarankan oleh teman-teman kami. Apakan begitu enaknya?
Kami pun pulang. Mie aceh yang kami datangin menutup perjalanan saya hari ini. Sesampainya dirumah kami semua tidur. Saya pun tertidur seperti biasa saat bertelepon dengan seseorang [jangan tanya siapa.. hhee].
No comments:
Post a Comment