Thursday, February 10, 2011

Pajak Pringgan

Setelah semalam kami kenyang dengan mie Aceh. Pagi harinya kami semua telat bangun. Kami semua berencana bangun jam enam pagi, tapi kenyataanya kami semua bangun jam delapan. Seperti yang sudah saya ceritakan dalam posting saya sebelumnya, suasana disini seperti membuat jam menipu waktu. Sebenarnya saya sempat bangun jam enam, tapi karena saya lihat ke jendela di luar masih gelap, saya kembali menarik selimut dan memeluk bantal saya hingga akhirnya saya dibangunkan. Tidak pakai mandi dulu karena mau ke pajak, seusai saya beres meminum the dari gelas mama dan abang sudah beres siap-siap, kami berangkat ke Pajak Pringgan.

Dari tadi saya sebut pajak. Di Medan, khususnya Sumatra Utara (saya tidak tahu Sumatra bagian lain), pajak itu berarti pasar, jadi yang saya sebut pajak Pringgan itu sebenarnya adalah pasar Pringgan. Sedangkan pasar di daerah sini bisa diartikan dengan sebutan sebuah jalan/daerah, misalnya rumah nenek saya di pasar 10 (sepuluh) – padahal nama aslinya juga bukan Jalan 10 (Sepuluh) – dan sejenisnya. Sedikit aneh, tapi ya begitulah bahasa di daerah sini.

Sesampainya di pajak pringgan, kami pertama langsung mencari kerang karena berencana menggunakan bahan dasar kerang bulu untuk menu hari ini. Saya sedikit WOW, melihat ikan-ikan yang di perdagangkan di pasar ini. Ikan-ikanya sungguh besar. Ikan bawal merah hampir tiga perempat panjang tangan saya. Ada banyak ikan-ikan aneh yang tidak biasa saya liat di pasar-pasar di Bandung. Menurut penjelasan mama, ini karena mereka dekat ke laut, dan ikan-ikan yang saya liat memang fresh dari laut, jadi pasti banyak ikan aneh. Itu menjadi suatu alasan yang logis bagi saya, bagai mana bisa orang Bandung mendapat ikan laut seperti ini, secara Bandung seperti berada di dalam cekungan yang pinggir-pinggirnya semua gunung. Saya pun bahkan disini melihat bayi hiu di jual oleh salah satu pedagang –yang mana kalau di bandung saya hanya bias mendapatkan penjual bayi hiu di rumah makan seafood tertentu. Yang saya aneh lagi, ada ikan yang saya baru pertama kali liat, bentuknya seperti ikan etong (ikan ayam-ayam), ikannya bermotif totol-totol seperti macan, dan di kepalanya berwarna biru seperti bertabrakan dangan kuning dengan motif yang sama seperti macan. Ada pula ikan bawal yang ntah segimana besarnya karena saya hanya melihat potongan kepalanya saja sudah sangat besar mungikin empat kali kepalan kedua tangan saya. Ikan-ikan yang saya temui di sini memang beda dari yang biasa saya temui.

Setelah berkeliling di bagian berjualan ikan, kami tidak menemukan kerang yang kami cari. Adanya kerang yang sudah dikluarkan daging dari cangkangnya. Kami tidak mau membeli kerang seperti itu. Pertama, kami tidak yakin akan kesegarannya. Kedua, kerang yang sudah dikeluarkan isinya seperti itu lebih enak jiga dimasukan kedalam tumisan, bukan untuk kerang rebus yang kami inginkan. Maka kami berjalan dulu meninggalkan bagian ikan segar.

Kami berjalan melalui penjual ikan-ikan yang sudah di asinkan dan sejenisnya. Disitu mama mulai menawar gembung rebus. Jarang saya melihat gembung rebus di Bandung, adaya ikan gembung biasa yang dikeringkan. Saat menawar logat mama sudah berubah dengan logat yang biasa dia gunakan di pulau jawa – sebenarnya sejak sampai di Medan juga sudah berubah. Logat mama sudah kembali seperti logat-logat orang-orang di situ. Mama pun akhirnya membeli lima ekor gembung rebus.

Berjalan lagi sedikit, ada yang menjual andaliman. Andaliman itu sejenis tumbuhan. Yang biasanya di pakai di makanan itu buahnya yang kecil-kecil. Jika dimakan, rasanya seperti asam-asam pedas, atau lebih tepatnya terasa getir-getir di lidah. Makanan khas Batak banyak yang menggunakan andaliman ini. Saya pun suka dengan makanan batak yang menggunakan andaliman ini. Hanya di Jawa Barat jarang yang menjual andaliman, di Bandung biasanya hanya bias di dapat di pasar Anyar, selebihnya kadang mama nitip ke saudara yang di Jakarta untuk membelikannya di pasar Senen. Lagi, kualitas andaliman yang saya temukan di Sumatra ini beda dengan yang di Jawa. Di sini, andalimannya lebih segar. Secara logis, mungkin karena di Sumatra sini banyak orang batak, maka banyak yang menggunakan andaliman, otomatis tanaman andaliman pun banyak, maka andaliman yang dijual disini lebih segar.

Selain andaliman, saya menemukan wortel. Mungkin anda yang membaca aneh membaca menemukan wortelpun saya tuliskan bak menemukan wortel dipasar adalah hal yang tidak lazim di Bandung. Saya sedikit wah begitu melihat wortel di pasar tradisional sini. Wortel yang biasanya hanya saya temukan di supermarket seperti Carre****, Hyp****** dan sejenisnya dan bertuliskan diatasnya 'WORTEL IMPORT', atau wortel yang disebutkan dari Negara sebrang mana pun, saya temukan disini. Woertel disini bersih, kulintya tidak terlihat kering, kerempeng keriput seperti wortel-wortel yang saya temukan di pasar-pasar tradisional di Bandung. Otak logis saya kembali berfikir, gimana ya supermarket itu meng-impor sayur-sayuran segar dari Negara yang saya sendiri pun tidak yakin apa tanah mereka sebagus tanah Indonesia yang terkenal subur, atau jangan-jangan yang mereka maksud impor adalah mengimpor dari Pulau Sumatra ke Pulau Jawa? Saya tertawa dalam hati dan mengeluarkan senyum kecil di wajah saya. Juga, disini saya menemukan kentang merah. Bukan ubi merah, tapi kentang. Dari penampilan luarnya, kentang itu memang terlihat merah kulitnya, bukan coklat seperti kentang umumnya. Sayang saya tidak membeli kentang tersebut agar bias membuktikan dalamnya, apakah kentang itu merah sampai dalamnya, atau hanya kulitnya. Kentang ini tidak lazim saya temukan di pasar yang pernah saya datangi di Bandung, bahkan yang pernah saya lihat di tv.

Kami berkeliling, hingga akhirnya membeli terong hijau kecil yang
juga jarang saya bias dapatkan di Bandung, bumbu-bumbu masak, dan timun! Kenapa saya
pun menuliskan timun dengan jelas, sudah pasti karna ada hal yang tidak lazim. Setelah berkeliling dari ujung ke ujung pasar, yang kami lihat timun (bonteng) disini besar-besar. Ada yang lingkarnya sebesar lingkar pergelangan tangan saya dan panjangnya sattu setengah jengkal. Hingga akhirnya kami menemukan yang akhirnya kami beli panjangnya sejengkal kurang. Jujur saya ngeri untung memakan timun yang terlalu besar, memangnya saja sedikit rasa geli karena sedikit tidak lazim. Di Bandung mungkin saya bisa menemukan timun yang panjangnya sejengkal, tapi lingkarnya tidak sebesar pergelangan tangan saya, lingkarnya kecil.

Beres membeli bahan makanan hari ini dan besok, kami berjalan ke ujung jalan, di sebrangnya ada penjual bunga. Kami menyempatkan membeli bunga disitu karena besok pagi kami akan bejiarah diluar Medan. Saya sedikit terkejut sekali lagi. Mereka menjual bunga chrisant perbatang, yang mana biasanya di Bandung dan sekitarnya kebanyakan menjual bunga ini perikat. Saya ingat pagi hari sebelum saya berangkat ke Medan, saya membeli krisant seikat, seikat mungkin ada 12-14 batang, dan itu dihargai perikatnya Rp.15.000,-, sedangkan disini mereka menjuar chrisat perbatang Rp. 4.000,-. Tapi tetap ada lebihnya, chrisat yang disini lebih bervariasi warnanya, baru pertama saya melihat chrisant yang berwarnya oranye yang sebenarnya sudah bias dibilang coklat muda, ada juga yang berwarna ungu gelap, serta anggrek-anggrek yang dijual perbatang pun bagus-bagus. Hanya ya seperti yang saya bilang, harganya jauh mahal jika dibandingkan dengan harga di Bandung.

Beres berbelanja, saat kembali ke mobil, kami bertemu penjual tape ketan dan tape singkong (di Bandung disebut Peuyeum). Kata mama peuyeum di Medan
sebenarnya lebih enak dari peuyeum Bandung, karena saya penasaran, saya pun membeli dua bungkus. Satu, perbedaan dari cara berjualannya, kalo di bandung peuyeum singkong itu masih di dalam tempat kaya bakul dari anyaman, dan pembeli bisa bebas memilih, disini peyeumnya sudah dibungkus dalam plastik-plastik, jadi pembeli hanya bisa memilih plastic mana yang akan mereka beli. Kedua, peuyeum di bandung cenderung kering, masih ada putin-putih seberti tepung diluarnya, peuyeum Medan cenderung basah, bahkan ada yang sedikit berair. Sesampainya di rumah, saya pun mencicipi peuyeum Medan, dan memang rasanya jauh lebih enak dibanding peuyeum Bandung. Teksturnya lebih lembut, rasanya lebih manis, wanginya lebih tajam. Saya bilang tadi bahkan ada yang cenderung sedikit berair, saya juga membeli yang seperti itu, wanginya lebih enak, sedikit wangi alcohol hasil fermentasinya.

Walau hari kedua saya hanya di gunakan "bermain" ke pasar, tapi saya senang karena saya mendapatkan hal-hal yang jarang, mungkin tidak bisa saya temuka di tempat saya sekarang. Entah dimana di Bandung ini saya bisa menemukan timun (bonteng) yang hamper sebesar tangan saya, pasar tradisional yang wortelnya seperti wortel import di supermarket, kentang merah, dan ikan-ikan aneh yang saya liat di pajak. Sayang saya tidak membawa kamera saya kepasar karena saya tidak mau ada terjadi hal-hal seperti kamera saya di curi, atau apapun. Bukan masalah kameran takut hilang, tapi saya tidak mau photo-photo di dalam kamera itu hilang walau hanya satu, karena satu gambar apapun yang pernah saya photo, tidak akan pernah terulang lagi persis seperti saat itu. Coba saya bisa, saya ingin membagikan lebih banyak gambar dari hal-hal yang saya temukan di pajak Pringgan.

No comments: